Senin, 27 Agustus 2012

Lokasi Rawan Kebakaran Antara Ada dan Tiada

JAKARTA, KOMPAS.com - Titik-titik utama yang masuk daerah rawan kebakaran di Jakarta ternyata adalah lokasi-lokasi yang termasuk lahan sengketa. Yang patut disayangkan, entah karena status kepemilikan dan peruntukan yang belum jelas, lokasi-lokasi tersebut tidak dimasukkan dalam peta tata ruang kota Jakarta.

"Lokasi-lokasi itu termasuk urban black hole atau lobang hitam perkotaan yang tidak masuk dalam Peta Tata Ruang Kota Jakarta," kata Ketua Kelompok Studi Arsitektur Landskap Indonesia Nirwono Yoga yang dihubungi Kompas.com, Senin (27/8/2012).

Tidak disebutkan tidak dimasukkan lokasi-lokasi tersebut merupakan suatu kesengajaan atau tidak. Yang pasti, titik-titik rawan kebakaran yang masuk lahan sengketa tidak ada dalam peta Tata Ruang Jakarta.

Imbasnya, keberadaan titik-titik tertentu di Tambora, Kapuk Muara, Senen, dan lain-lain itu tidak diakui secara struktural dalam wilayah DKI Jakarta. Apalagi, selain tergolong lahan sengketa atau tanpa status kepemilikan yang jelas, kawasan tersebut biasanya merupakan wilayah kumuh yang padat pemukiman dan padat penduduk.

"Jadi, jangan heran kalau dalam 5-10 tahun penanganan kebakaran sekaligus pemukiman di titik-titik tersebut tidak akan tuntas," tandas Nirwono.

Ia menerangkan, jika Pemprov DKI benar-benar berniat mengatasi masalah kebakaran sekaligus pemukiman kumuh di lokasi-lokasi tersebut, ada tiga langkah konkret dan bertahap yang perlu dilakukan. Langkah-langkah tersebut membutuhkan keterlibatan sejumlah instansi dan pemangku kepentingan. Karena itu, kemauan dan koordinasi dari pucuk pimpinan tingkat provinsi, yakni Gubernur DKI Jakarta sangat dibutuhkan.

"Yang pertama, Dinas Tata Ruang memperjelas status kepemilikan ruang tersebut. Kemudian Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) bisa mengupayakan negoisasi soal status lahan," papar Nirwono.

Bila status kepemilikan sudah jelas, Pemerintah bisa membicarakan langkah berikut yaitu peremajaan kawasan. Tujuannya menjadikan lingkungan tersebut sebagai kawasan terpadu dan ramah lingkungan.

Langkah terakhir adalah melakukan rekayasa sosial. Warga yang sebelumnya terbiasa di lingkungan yang kumuh dan padat bisa diadaptasikan pada pola-pola hidup sosial yang ramah lingkungan, pola hidup baru yang bisa dikatakan memiliki level peradaban yang berbeda.

"Bahkan, untuk mengubah budaya dari pola hidup di pemukiman horisontal ke pemukiman vertikal saja membutuhkan adaptasi yang tidak mudah bagi warga pada umumnya. Untuk itulah program-program rekayasa sosial perlu didialogkan lebih dahulu dengan warga setempat," kata Nirwono.

Pengamat Lingkungan dari Universitas Trisakti ini menerangkan, program serupa telah dilakukan beberapa negara ASEAN sebelumnya. Singapura yang paling awal melakukan program tersebut membutuhkan waktu 15-20 tahun. Sementara Vietnam yang terbaru mampu melaksanakan peremajaan kawasan dan rekayasa sosial dalam waktu yang lebih singkat, yakni 10 tahun.

"Dari segi pendanaan, Jakarta tidak ada masalah. Tinggal niat dan keseriusan pemerintah saja. Kalau serius saya yakin bisa lebih cepat dari Vietnam," pungkas Nirwono.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar